Oleh : Lupita Widyaningrum / Akuntansi FEUI / 1006712412
Good Corporate Governance (GCG) sudah banyak diimplementasikan di berbagai perusahaan. Tapi hingga saat ini pelaksanaan GCG masih dipandang sebatas kepatuhan terhadap berbagai regulasi pemerintah yang ditandai dengan adanya struktur dan sistem GCG. Padahal, implementasi GCG yang sebenarnya jauh lebih luas, karena meliputi aspek pemenuhan kepentingan shareholders dan stakeholders. Oleh karena itu, saya mengangkat tema tentang perlunya penerapan GCG berbasis manajemen resiko. Risk management ini merupakan hal yang ramai diperbincangkan. Penerapan risk management idealnya dilaksanakan sejalan dengan penerapan GCG perusahaan. Untuk itu, konsep GCG dan risk management perlu digabungkan agar saling mendukung dalam bentuk Risk Based Corporate Governance atau GCG berbasis manajemen resiko.
Implementasi Corporate Governance berdasarkan risiko adalah suatu metodologi yang mana pengelola GCG menggunakannya untuk memberikan keyakinan/jaminan bahwa risiko perusahaan akan dikelola dengan baik oleh entitas melalui penarapan GCG yang efektif. Dengan kata lain, Suatu proses yang mengelola resiko sampai pada suatu level yang dipertimbangkan untuk dapat diterima oleh dewan direksi dan jajaran manajemen untuk bekerja secara efektif dan efisien. GCG berbasis manajemen resiko perlu diaplikasikan pada setiap risiko yang mengancam tercapainya tujuan organisasi, yang meliputi risiko keuangan, risiko strategis dan operasional, baik internal organisasi maupun eksternal organisasi.
GCG berbasis resiko ini didukung pula dengan peraturan pemerintah di bidang perseroan terbatas dan badan usaha milik Negara. Dengan memperhatikan perkembangan dunia usaha yang semakin dinamis dan kompetitif, maka untuk lebih meningkatkan penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance), Kementerian BUMN melakukan penyesuaian terhadap Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 menjadi Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor Per-01/MBU/2011 tanggal 01 Agustus 2011. Dalam Permen tersebut dinyatakan, “Dalam rangka penerapan GCG, Direksi, dalam setiap pengambilan keputusan/tindakan harus mempertimbangkan risiko usaha.dan wajib membangun serta melaksanakan program manajemen risiko korporasi secara terpadu yang merupakan bagian dari pelaksanaan program GCG”. Selain itu pada tanggal 21 Juni 2011, KNKG juga mengembangkan pedoman manajemen risiko mereka dengan menerbitkan Draf Pedoman Manajemen Risiko Berbasis Governance.
Di dalam draf KNKG tersebut dikatakan beberapa hal, mengapa diperlukan GCG berbasis manajemen resiko. Alasan yang pertama, manajemen risiko merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pelaksanaan corporate governance karena peran manajemen risiko dalam memberikan jaminan atas pencapaian sasaran keberhasilan usaha perusahaan. Kedua, pelaksanaan manajemen risiko yang baik memerlukan prinsip-prinsip governance, seperti yang pernah kita pelajari sebelumnya dalam mata kuliah Corporate Governance. Ketiga, risiko merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses organisasi dan kegiatan utama organisasi ataupun proses lain organisasi. Manajemen risiko jadi bagian yang tidak terpisahkan dari tanggung jawab manajemen, dalam memastikan tercapainya sasaran organisasi. Maka manajemen risiko haruslah diintegrasikan sepenuhnya ke dalam good corporate governance organisasi untuk lebih memberikan kepastian terhadap pencapaian sasaran organisasi.
Gambar 4: Operasionalisasi kerangka kerja dan proses GCG berbasis manajemen risiko (Sumber: Draf Pedoman Manajemen Risiko Berbasis Governance. KNKG:2011)
Seperti yang saya katakan tadi, bahwa manajemen risiko merupakan bagian dari proses organisasi, termasuk dalam penerapan GCG. Manajemen resiko ini harus masuk dan menjadi bagian dari budaya organisasi, praktik terbaik organisasi, tata kelola organisasi dan proses bisnis organisasi.
Dapat dilihat dari gambar operasionalisasi kerangka kerja GCG berbasis manajemen resiko, bahwa proses manajemen risiko meliputi lima kegiatan, yaitu komunikasi dan konsultasi, menentukan konteks, asesmen risiko, perlakuan risiko, serta monitoring dan review, sebagaimana ditunjukkan pada gambar. Dalam aspek operasional ini dijelaskan lingkup tugas mana yang jadi bagian level organisasi keseluruhan (korporasi) dan yang mana menjadi wilayah tugas para pemangku risiko (divisi, departemen, proses bisnis,dll.)
Proses GCG berbasis manajemen risiko yang berada ditengah pada gambar adalah “inti kegiatan” para pemilik risiko sedangkan kegiatan lainnya adalah “inti kegiatan organisasi”, atau dengan kata lain merupakan tugas khusus fungsi manajemen risiko organisasi untuk menyediakan pondasi bagi kegiatan para pemangku risiko dalam menerapkan manajemen risiko. Pemilik risiko dalam pengertian ini adalah para Kepala Divisi/Biro, Kepala Bagian, Kepala Seksi atau penanggung jawab proses organisasi.
Proses penerapan GCG berbasis manajemen risiko yang disarankan dalam pedoman KNKG terdiri dari tiga aspek. Aspek structural, yaitu aspek yang memastikan arah penerapan, struktur organisasi penerapan dan akuntabilitas pelaksanaan manajemen risiko dalam organisasi, penyediaan sumber daya, dan sebagainya. Aspek operasional, adalah aspek yang menunjukkan tahapan proses implementasi yang sistematis dan terarah, mulai dari pernyataan komitmen Direksi dan Dewan Komisaris, penyusunan Pedoman Manajemen Risiko Perusahaan, briefing untuk Komisaris dan Direktur, pelatihan para pemangku risiko, hingga penerapannya. Aspek perawatan, adalah aspek yang memastikan adanya upaya menjaga efektifitas penerapan dan perbaikan yang berkesinambungan melalui, monitoring dan review serta audit manajemen risiko. Secara keseluruhan, proses yang disarankan KNKG juga seperti yang diperlihatkan dalam gambar grafik di atas.
Implementasi dalam Perusahaan
Implementasi GCG berbasis manajemen risiko kinerja misalnya diterapkan pada BUMN Jasamarga. Penetapan komite audit, penerbitan pedoman penerapan GCG, Code of Conduct (CoC), Board Manual, GCG Self Assessment serta Sistem Informasi Satuan Pengawasan Intern (SISPI) menjadi perangkat penting dalam strategi dan penerapan GCG di Jasamarga. Jasamarga memandang perlu untuk mengembangkan suatu sistem manajemen yang mampu mengintegrasikan seluruh sistem pengelolaan perusahaan, mulai dari sistem perencanaan strategik, sistem penilaian kinerja hingga sistem pelaporan perusahaan, yang mampu memberi kepastian yang wajar tercapainya tujuan-tujuan perusahaan, dengan pemetaan risiko yang efektif untuk pengambilan keputusan, dan sistem yang mampu menumbuhkan kesadaran akan risiko perusahaan, yakni manajemen risiko korporat atau enterprise risk management. Implementasi Enterprise Risk Management (ERM) ini merupakan bentuk upaya penerapan Good Corporate Governance sejalan dengan amanat Kementrian Badan Usaha Milik Negara khususnya Keputusan Menteri Negara BUMN No.117/2002 tentang Penerapan Good Corporate Governance pada BUMN.
Dalam hal strategi penerapan, Jasamarga juga mengembangkan GCG for sustainable growth. Strategi ini menggunakan pendekatan yang berbasis manajemen risiko. Jadi, risiko yang berdampak pada kelangsungan bisnis perusahaan diidentifikasi dan dianalisa terlebih dahulu. Seluruh risiko tersebut dipetakan sebagai profil risiko perusahaan. Sistem evaluasinya pun disusun untuk mengukur kualitas penerapan GCG yang berkesinambungan. Selain mengendalikan risiko, pemenuhan standar dan peraturan menjadi tujuan penerapan GCG di lingkungan Jasamarga. Dengan tercapainya tujuan tersebut, ditargetkan hasil penilaian GCG yang semakin baik akan tercapai. Dengan strategi GCG for Sustainable Growth dan GCG berbasis resiko, mendorong Jasamarga untuk terus meningkatkan kualitas penerapan GCG dalam operasinya.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Keputusan Menteri BUMN Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada BUMN
2. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: Per-01 /MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara
3. Draf Pedoman Manajemen Risiko Berbasis Governance. KNKG : Per-21 Juni 2011
4. Pedoman Tata Kelola Perusahaan Jasamarga 2011 (Code of Corporate Governance)
—
Lupita Widyaningrum
Accounting Department
Faculty of Economics
University of Indonesia